Senin, 05 Maret 2012

Senandung Jalan Setapak


              
    

         Jalan ini masih saja terlihat sepi. Saking sepinya hanya sebuah pohon besar di tepi jalan ini yang hanya bisa ku tatap. Pohon besar tanpa bunga dan buah, bahkan dedaunannya pun mulai minggat dari dahannya. Mengapa suasana kesepian sangat kental terasa di sini? Kemana orang-orang? Hai jalan! Kalau kau sudah tidak diinginkan lagi oleh masyarakat sini lebih baik kau pindah ke  tempat lain yang lebih ramai yang  dimana orang-orangnya  mau menggunakanmu! Ah, gilakah aku bicara pada jalan? Mungkin  aku begini karena lama menunggu seseorang.
             Di jalan setapak yang sepi ini aku bisa apa? Kenapa dia menyuruhku menunggu di sini? Di  tempat lain kan bisa. Tegakah dia membiarkan seorang perempuan duduk sendiri di sini  hanya untuk menuggunya? Belum lagi dengan jam  tangan yang melingkar di tangan kiriku yang selalu mengganggu perhatianku dengan suara detikannya.  Suara itu selalu membuatku gusar. Mungkin kalau dia bisa  bicara dia akan menyuruh ku pulang. Atau mungkin dia juga bosan dari tadi hanya bisa melihat jalan setapak ini. Kata ibuku, mengeluh itu tidak baik, tapi apa yang bisa aku lakukan disaat seperti ini? Amarahku semakin meledak saat  melihat rumput-rumput yang ada di depanku. Bentuknya agak mirip dengan lidah. Mereka seolah menjulurkan lidah mereka padaku. Sangat banyak lidah.
“Eh rumput, kalau berani jangan keroyokan dong. Aku kan hanya punya satu lidah sedangkan kalian banyak. Itu sangat tidak adil.” Kataku dalam hati.
             Suara motor kemudian memalingkan perhatianku pada rumput itu. Sepertinya aku mengenal pria berjaket hitam itu. Aku tahu setelah sampai dia akan bilang apa. Maafkan aku sayang, aku terlambat bangun. Kalau tidak itu pasti sayang aku harus mengantar ibuku ke pasar, atau sayang aku harus membersihkan rumah, dan entah apa lagi alasannya saat terlambat bertemu denganku, sebenarnya itu tidak ingin aku ingat, tapi bagaimana aku tidak ingat, kalau seminggu sekali dia selalu mengucapkan itu. Aku kembali memandangi arlojiku. Jam 11.00. Satu jam aku menunggu di tempat sepi ini. Meski kesal tapi aku lega melihat dia datang.
“Sayang sudah lama menunggu?” tanya Leo padaku.
“Kenapa bertanya seperti itu?”pikirku dalam hati. “Tidak juga sayang. Hanya 60 menit kok, belum sampai 1 jam.”aku mencoba meledeknya.
“Ah sayangku, jangan menggodaku seperti itu. Hehe.” kata Leo padaku.
“Siapa juga yang menggoda kamu! Dasar aneh!” kataku dalam hati. Entah kata-kata apa lagi  yang harus aku katakan dalam hatiku. Maafkan aku ya hati, aku telah membuatmu berdosa. “Sayang kita mau kemana?” tanyaku pada Leo.
“Seperti biasa kita pacaran disini saja yang. Aku sudah membawa beberapa makanan kok, lagian kan suasana di sini sejuk banget.” Kata Leo padaku sambil membuka beberapa bungkusan yang dibawanya.
Ah kapan sih dia berubah? Dia  hanya membuat aku iri pada teman-temanku yang biasanya jalan-jalan ke pantai, restourant, atau ke mal bersama kekasihnya. Aku bosan terus-menerus bersamanya di tempat ini. Tapi apa boleh buat, dia pacarku. Ah aku akan serba salah.”hatiku  terus bicara yang aneh.
“Sayang kok diam sih? Kamu enggak suka ya disini?” Leo menanyakan hal yang seharusnya sudah dia tahu.
“Suka kok yang.” Aku mencoba memberinya senyuman. Tapi tetap saja hatiku kesal.
             Satu tahun telah kami lalui bersama. Kami tak pernah bertengkar, karena memang tak ada hal  yang  harus kamu ributkan. Usia Leo 17 dan aku baru 16 tahun, aku rasa kami sudah dewasa segala sesuatu tidak usah diambil pusing. Seperti  yang sekarang ini, meski kesal aku tak pernah meributkannya. Aku berusaha mengerti semua keinginannya. Kalau dipikir-pikir pasangan  mana lagi yang menjalani pacaran seperti kami.
             Kalau di sekolah kami lebih senang pacaran di perpustakaan dari pada di kantin atau di kelas. Tapi kami seolah lebih asik pacaran dengan buku yang kami sukai masing-masing. Mungkin kalau bukan teman sekelasku atau teman sekelas Leo tak tak akan ada yang mengira kalau aku pacaran dengan Leo.
“Sayang kita pulang  yuk!” kataku pada Leo.
“Ya deh yang. Oh iya, inget bikin PR  ya yang. Aku anterin sayang pulag ya.”
“Ya  yang.” Aku tak menolak ajakannya. Lagian kalau jam segini pulang jalan kaki tentu saja panas tak sejuk lagi seperti tadi pagi. Leo tak berani ngebut kalau  membawa motor. Jadi aku merasa senang bisa lebih lama bersamanya. Aku mendekap erat tubuhnya, dan secara refleks tangannya pun menggenggam tanganku yang melingkar di pinggangnya. Aku menyandarkan pipiku di bahunya. Ya Tuhan terima kasih telah memberikan Leo padaku.
             Tak terasa beberapa menit kami berdua sudah tiba di depan rumahku. Hubungan kami memang telah diketahui oleh orang tuaku. Tapi orang tua Leo belum tahu. Entah kenapa Leo tak memberitahukan hubungan kami pada orang  tuanya? Setiap aku bertanya, dia hanya menjawab “nanti sayang juga tahu”. Hingga aku malas untuk menanyakannya lagi.
“Sayang, kamu gak mampir?” tanyaku pada Leo.
“Lain kali ya yang. Oh iya, besok aku mau jemput kamu. Jadi tunggu aku ya.” Kata Leo padaku.
“Iya yang aku tunggu besok. Da sayang.” Kataku sambil melambaikan tanganku pada Leo. Dia kemudian melaju dengan motornya.

***
             Dua bulan berlalu aku merasa ada yang aneh dengan ingkah laku Leo. Aku tak ingin berpikir negatif terhadap Leo. Ujian Nasional tinggal beberapa minggu lagi, pasti dia sedang sibuk menyiapkan diri untuk berperang dengan soal-soal yang menyebalkan. dia sangat jarang menelponku, jangankan menelpon SMS saja jarang. Yah, apapun yang menunjang kesuksesannya akan aku dukung.
             Beberapa bulan kemudian, hari perpisahan  kelas 3 tiba. Sebenarnya aku tak menginginkan hari ini datang. Dengan langkah yang tak pasti aku melangkah menuju kelasku. Aku tak melihatnya di parkiran. Sudah beberapa bulan ini tak ada kabar darinya. Aku semakin gusar. Leo ini kenapa? Meski sering aku lihat dia, dia hanya melempar senyum palsu padaku. Acara perpisahan di mulai. Aku melihat wajahnya yang sangat aku rindukan. Apa mungkin dia tak menginginkanku lagi? Aku lihat dia berjalan menuju diriku.
“Sayang, setelah pulang sekolah aku ingin bicara sama sayang.” Kata Leo padaku.
“Iya yang.” Jawabku singkat. Mungkin dia ingin memutuskan hubungan denganku. Sepertinya aku harus menguatkan hatiku.
             Acara perpisahan selesai, aku pun menunggu di parkiran. Aku sudah menelpon kakakku untuk tidak menjemputku hari ini. Satu persatu siswa meninggalkan sekolah. Kenapa lama sekali dia datang! Aku melihat teman-temannya lewat dihadapanku.
“Permisi kak, Leo udah pulang belum?” aku bertanya kepada salah satu dari mereka.
“Belum dik dia masih di kelas sendiri. Mendingan adik temuin dia di kelas.”
“Iya kak, terimakasih.”tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menuju kelasnya. Belum sampai di kelasnya aku sudah berpapasan dengannya. Terlihat mata sendunya mengeluarkan air. Adakah tingkah lakuku yang membuat hatinya terluka? Dia segera berlari menuju aku. Tanpa banyak bicara dia langsung menarik tanganku. Kami berlari  di bawah teriknya sinar matahari. Entah apa yang terjadi pada hatinya. Sakitkah dia? Kalau benar mengapa aku tak pernah ada saat  dia menangis? Pacar macam apa aku ini? Leo segera mengambil motornya, dan menyuruh aku naik. Dia menjalankan motornya dengan kencang, tak pernah sekencang ini. Leo menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggangnya. Sesekali Leo mencium tanganku.
             Tiga puluh menit berlalu, aku sangat terkejut. Leo mengajakku ke rumahnya. Sebenarnya apa maksudnya mengajakku kemari? Kami berdua segera masuk. Pegangan Leo semakin erat. Aku sangat tak menyangka dengan apa yang aku lihat. Sofy temanku yang mengenalkan aku pada Leo ada di rumah Leo. Apa yang sedang dibicarakan orang tua Leo dan orang tua Sofy? Apakah ini sebuah pertanda buruk?
“Duduklah Mimi.”kata sofy padaku. Aku seperti orang yang linglung atau aku memang linglung. Aku duduk berdampingan dengan Leo. Entah kenapa tangan Leo semakin erat menggenggam jari jemariku. Sesekali Leo menatapku  dengan mata yang berkaca-kaca. Ada apa sebenarnya ini?
“kamu ini Mimi pacarnya Leo ya?” tanya ibunya leo padaku.
“Iya tante.”aku meraih  tangan ibunya Leo dengan maksud menciumnya agar aku terlihat sopan di depannya. Namun apa yang terjadi? Ibunya Leo malah menolak tanganku. Sedikit demi sedikit aku semakin mengerti maksud Leo “nanti juga sayang tahu.” Ternyata orang  tua Leo tak merestui kami.
“Begini Mimi, tante menyuruh Leo membawa kamu kesini, dengan tujuan kamu tahu kami sudah menjodohkan Leo dengan Sofy. Jadi kalian berdua harus menyudahi hubungan kalian. Tante gak setuju Leo pacaran sama kamu.” Kata ibunya Leo dengan nada sinis.
             Ya Tuhan, hatiku seperti di tusuk pisau berisi racun cinta. Aku tak kuat bicara. Aku berusaha menahan tangisku. Aku tak ingin Leo melihatku menangis. Aku berusaha menyembunyikannya dengan menundukkan kepalaku. Tapi Leo mengangkat daguku dan menghapus air mataku yang tak tertahan lagi. Leo seolah merasakan perasaanku saat itu.
“Jangan menangis.”bisik Leo padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepalaku serta menarik nafasku.
“Tante, om. Kalau memang ini yang terbaik untuk Leo, akan saya lakukan.”aku mencoba menatap mata ibunya Leo dan berbicara pada beliau. Aku memalingkan pandanganku ke arah Leo. “Leo, kalau selama dua tahun ini aku ada salah sama kamu, aku minta maaf ya. Aku seneng bisa kenal sama kamu. melewati hari-hari bersama kamu lebih membuat hariku bermakna. Sekali lagi terima kasih ya Leo.” Aku berusaha menahan tangisanku. “Sofy, selamat ya kamu udah dapetin cowok yang sangat baik.” Aku menggenggam tangan Sofy, aku hanya  ingin dia tahu aku  tak pernah membenci Sofy.
“Terima kasih Mimi.” Kata Sofy
“Om, Tante, saya pamit pulang dulu ya. Leo, aku pulang ya. Permisi.” Aku berdiri dan langsung keluar dari  rumah Leo. Dari jarak satu meter, aku mendengar Leo menangis. Aku mencoba mengirimkan telepati padanya, tapi tak bisa. Ya Tuhan,, jangan biarkan Leo menangis. Aku terus melangkah keluar. Aku tak sanggup melihat kebelakang lagi. Aku berusaha berjalan meski kakiku sudah tak kuat menopang tubuhku yang lemas ini. Melangkah dan terus melangkah, hanya itu yang bisa  aku lakukan. Aku  tak ingin pulang ke rumah, aku tak ingin ibuku melihat mataku yang penuh dengan air mata ini. Aku menuju ke jalan setapak  yang dulu pernah menjadi saksi cintaku dengan Leo. Di bawah pohon  besar ini aku selalu menunggu kedatangannya. Setelah kejadian ini, siapa lagi yang akan aku tunggu di bawah pohon ini.
             Canda tawanya selalu bergema  ditelingaku. Siapa lagi yang akan menemani aku di perpus? Siapa lagi  yang akan menelponku saat aku kesepian? Air mata ini tak bisa terbendung. Aku duduk di jalan setapak ini. Jalan itu masih saja disini? Aku mengelus-elus jalan itu, aku menjatuhkan air mataku di atas jalan itu.
“Hay jalan, apa selama  ini kamu gak kesepian? Aku salut sama kamu, sekian lama sendiri tapi kamu gak kesepian. Kamu gak pernah megeluh seperti aku.”aku membaringkan tubuhku diatas jalan setapak itu. Seolah aku merasakan kesepian yang juga melanda jalan itu. Aku tak akan pernah melupakan kenangan indah di tempat ini bersama Leo dan aku tak akan melupakan jalan setapak dimana aku selalu menunggu kedatangan Leo. Meski raga Leo tak  dapat aku miliki tapi aku yakin hatinya masih menjadi miliku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar