Jalan ini masih saja terlihat sepi.
Saking sepinya hanya sebuah pohon besar di tepi jalan ini yang hanya bisa ku
tatap. Pohon besar tanpa bunga dan buah, bahkan dedaunannya pun mulai minggat
dari dahannya. Mengapa suasana kesepian sangat kental terasa di sini? Kemana
orang-orang? Hai jalan! Kalau kau sudah tidak diinginkan lagi oleh masyarakat
sini lebih baik kau pindah ke tempat
lain yang lebih ramai yang dimana
orang-orangnya mau menggunakanmu! Ah,
gilakah aku bicara pada jalan? Mungkin
aku begini karena lama menunggu seseorang.
Di jalan setapak yang sepi ini aku
bisa apa? Kenapa dia menyuruhku menunggu di sini? Di tempat lain kan bisa. Tegakah dia membiarkan
seorang perempuan duduk sendiri di sini
hanya untuk menuggunya? Belum lagi dengan jam tangan yang melingkar di tangan kiriku yang
selalu mengganggu perhatianku dengan suara detikannya. Suara itu selalu membuatku gusar. Mungkin
kalau dia bisa bicara dia akan menyuruh
ku pulang. Atau mungkin dia juga bosan dari tadi hanya bisa melihat jalan
setapak ini. Kata ibuku, mengeluh itu tidak baik, tapi apa yang bisa aku
lakukan disaat seperti ini? Amarahku semakin meledak saat melihat rumput-rumput yang ada di depanku.
Bentuknya agak mirip dengan lidah. Mereka seolah menjulurkan lidah mereka
padaku. Sangat banyak lidah.
“Eh rumput, kalau
berani jangan keroyokan dong. Aku kan hanya punya satu lidah sedangkan kalian banyak.
Itu sangat tidak adil.” Kataku dalam hati.
Suara motor kemudian memalingkan
perhatianku pada rumput itu. Sepertinya aku mengenal pria berjaket hitam itu.
Aku tahu setelah sampai dia akan bilang apa. Maafkan aku sayang, aku terlambat
bangun. Kalau tidak itu pasti sayang aku harus mengantar ibuku ke pasar, atau
sayang aku harus membersihkan rumah, dan entah apa lagi alasannya saat
terlambat bertemu denganku, sebenarnya itu tidak ingin aku ingat, tapi
bagaimana aku tidak ingat, kalau seminggu sekali dia selalu mengucapkan itu.
Aku kembali memandangi arlojiku. Jam 11.00. Satu jam aku menunggu di tempat
sepi ini. Meski kesal tapi aku lega melihat dia datang.
“Sayang sudah
lama menunggu?” tanya Leo padaku.
“Kenapa bertanya seperti itu?”pikirku
dalam hati. “Tidak juga sayang. Hanya 60 menit kok, belum sampai 1 jam.”aku
mencoba meledeknya.
“Ah sayangku,
jangan menggodaku seperti itu. Hehe.” kata Leo padaku.
“Siapa juga yang menggoda kamu! Dasar aneh!”
kataku dalam hati. Entah kata-kata apa lagi
yang harus aku katakan dalam hatiku. Maafkan aku ya hati, aku telah
membuatmu berdosa. “Sayang kita mau kemana?” tanyaku pada Leo.
“Seperti biasa
kita pacaran disini saja yang. Aku sudah membawa beberapa makanan kok, lagian
kan suasana di sini sejuk banget.” Kata Leo padaku sambil membuka beberapa
bungkusan yang dibawanya.
“Ah kapan sih dia berubah? Dia hanya membuat aku iri pada teman-temanku yang
biasanya jalan-jalan ke pantai, restourant, atau ke mal bersama kekasihnya. Aku
bosan terus-menerus bersamanya di tempat ini. Tapi apa boleh buat, dia pacarku.
Ah aku akan serba salah.”hatiku terus
bicara yang aneh.
“Sayang kok diam
sih? Kamu enggak suka ya disini?” Leo menanyakan hal yang seharusnya sudah dia
tahu.
“Suka kok yang.”
Aku mencoba memberinya senyuman. Tapi tetap saja hatiku kesal.
Satu tahun telah kami lalui
bersama. Kami tak pernah bertengkar, karena memang tak ada hal yang
harus kamu ributkan. Usia Leo 17 dan aku baru 16 tahun, aku rasa kami
sudah dewasa segala sesuatu tidak usah diambil pusing. Seperti yang sekarang ini, meski kesal aku tak pernah
meributkannya. Aku berusaha mengerti semua keinginannya. Kalau dipikir-pikir
pasangan mana lagi yang menjalani
pacaran seperti kami.
Kalau di sekolah kami lebih senang
pacaran di perpustakaan dari pada di kantin atau di kelas. Tapi kami seolah
lebih asik pacaran dengan buku yang kami sukai masing-masing. Mungkin kalau
bukan teman sekelasku atau teman sekelas Leo tak tak akan ada yang mengira
kalau aku pacaran dengan Leo.
“Sayang kita
pulang yuk!” kataku pada Leo.
“Ya deh yang. Oh
iya, inget bikin PR ya yang. Aku anterin
sayang pulag ya.”
“Ya yang.” Aku tak menolak ajakannya. Lagian
kalau jam segini pulang jalan kaki tentu saja panas tak sejuk lagi seperti tadi
pagi. Leo tak berani ngebut kalau
membawa motor. Jadi aku merasa senang bisa lebih lama bersamanya. Aku
mendekap erat tubuhnya, dan secara refleks tangannya pun menggenggam tanganku
yang melingkar di pinggangnya. Aku menyandarkan pipiku di bahunya. Ya Tuhan
terima kasih telah memberikan Leo padaku.
Tak terasa beberapa menit kami
berdua sudah tiba di depan rumahku. Hubungan kami memang telah diketahui oleh
orang tuaku. Tapi orang tua Leo belum tahu. Entah kenapa Leo tak memberitahukan
hubungan kami pada orang tuanya? Setiap
aku bertanya, dia hanya menjawab “nanti
sayang juga tahu”. Hingga aku malas untuk menanyakannya lagi.
“Sayang, kamu gak
mampir?” tanyaku pada Leo.
“Lain kali ya
yang. Oh iya, besok aku mau jemput kamu. Jadi tunggu aku ya.” Kata Leo padaku.
“Iya yang aku
tunggu besok. Da sayang.” Kataku sambil melambaikan tanganku pada Leo. Dia
kemudian melaju dengan motornya.
***
Dua bulan berlalu aku merasa ada
yang aneh dengan ingkah laku Leo. Aku tak ingin berpikir negatif terhadap Leo.
Ujian Nasional tinggal beberapa minggu lagi, pasti dia sedang sibuk menyiapkan
diri untuk berperang dengan soal-soal yang menyebalkan. dia sangat jarang
menelponku, jangankan menelpon SMS saja jarang. Yah, apapun yang menunjang
kesuksesannya akan aku dukung.
Beberapa bulan kemudian, hari
perpisahan kelas 3 tiba. Sebenarnya aku
tak menginginkan hari ini datang. Dengan langkah yang tak pasti aku melangkah
menuju kelasku. Aku tak melihatnya di parkiran. Sudah beberapa bulan ini tak
ada kabar darinya. Aku semakin gusar. Leo ini kenapa? Meski sering aku lihat
dia, dia hanya melempar senyum palsu padaku. Acara perpisahan di mulai. Aku
melihat wajahnya yang sangat aku rindukan. Apa mungkin dia tak menginginkanku
lagi? Aku lihat dia berjalan menuju diriku.
“Sayang, setelah
pulang sekolah aku ingin bicara sama sayang.” Kata Leo padaku.
“Iya yang.”
Jawabku singkat. Mungkin dia ingin memutuskan hubungan denganku. Sepertinya aku
harus menguatkan hatiku.
Acara perpisahan selesai, aku pun
menunggu di parkiran. Aku sudah menelpon kakakku untuk tidak menjemputku hari
ini. Satu persatu siswa meninggalkan sekolah. Kenapa lama sekali dia datang!
Aku melihat teman-temannya lewat dihadapanku.
“Permisi kak, Leo
udah pulang belum?” aku bertanya kepada salah satu dari mereka.
“Belum dik dia
masih di kelas sendiri. Mendingan adik temuin dia di kelas.”
“Iya kak,
terimakasih.”tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menuju kelasnya. Belum
sampai di kelasnya aku sudah berpapasan dengannya. Terlihat mata sendunya
mengeluarkan air. Adakah tingkah lakuku yang membuat hatinya terluka? Dia segera
berlari menuju aku. Tanpa banyak bicara dia langsung menarik tanganku. Kami
berlari di bawah teriknya sinar
matahari. Entah apa yang terjadi pada hatinya. Sakitkah dia? Kalau benar
mengapa aku tak pernah ada saat dia
menangis? Pacar macam apa aku ini? Leo segera mengambil motornya, dan menyuruh
aku naik. Dia menjalankan motornya dengan kencang, tak pernah sekencang ini.
Leo menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggangnya. Sesekali Leo mencium
tanganku.
Tiga puluh menit berlalu, aku
sangat terkejut. Leo mengajakku ke rumahnya. Sebenarnya apa maksudnya
mengajakku kemari? Kami berdua segera masuk. Pegangan Leo semakin erat. Aku
sangat tak menyangka dengan apa yang aku lihat. Sofy temanku yang mengenalkan
aku pada Leo ada di rumah Leo. Apa yang sedang dibicarakan orang tua Leo dan
orang tua Sofy? Apakah ini sebuah pertanda buruk?
“Duduklah
Mimi.”kata sofy padaku. Aku seperti orang yang linglung atau aku memang
linglung. Aku duduk berdampingan dengan Leo. Entah kenapa tangan Leo semakin
erat menggenggam jari jemariku. Sesekali Leo menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Ada apa
sebenarnya ini?
“kamu ini Mimi
pacarnya Leo ya?” tanya ibunya leo padaku.
“Iya tante.”aku
meraih tangan ibunya Leo dengan maksud
menciumnya agar aku terlihat sopan di depannya. Namun apa yang terjadi? Ibunya
Leo malah menolak tanganku. Sedikit demi sedikit aku semakin mengerti maksud
Leo “nanti juga sayang tahu.”
Ternyata orang tua Leo tak merestui
kami.
“Begini Mimi,
tante menyuruh Leo membawa kamu kesini, dengan tujuan kamu tahu kami sudah
menjodohkan Leo dengan Sofy. Jadi kalian berdua harus menyudahi hubungan
kalian. Tante gak setuju Leo pacaran sama kamu.” Kata ibunya Leo dengan nada
sinis.
Ya Tuhan, hatiku seperti di tusuk
pisau berisi racun cinta. Aku tak kuat bicara. Aku berusaha menahan tangisku.
Aku tak ingin Leo melihatku menangis. Aku berusaha menyembunyikannya dengan
menundukkan kepalaku. Tapi Leo mengangkat daguku dan menghapus air mataku yang
tak tertahan lagi. Leo seolah merasakan perasaanku saat itu.
“Jangan
menangis.”bisik Leo padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepalaku serta menarik
nafasku.
“Tante, om. Kalau
memang ini yang terbaik untuk Leo, akan saya lakukan.”aku mencoba menatap mata
ibunya Leo dan berbicara pada beliau. Aku memalingkan pandanganku ke arah Leo.
“Leo, kalau selama dua tahun ini aku ada salah sama kamu, aku minta maaf ya.
Aku seneng bisa kenal sama kamu. melewati hari-hari bersama kamu lebih membuat
hariku bermakna. Sekali lagi terima kasih ya Leo.” Aku berusaha menahan
tangisanku. “Sofy, selamat ya kamu udah dapetin cowok yang sangat baik.” Aku
menggenggam tangan Sofy, aku hanya ingin
dia tahu aku tak pernah membenci Sofy.
“Terima kasih
Mimi.” Kata Sofy
“Om, Tante, saya
pamit pulang dulu ya. Leo, aku pulang ya. Permisi.” Aku berdiri dan langsung
keluar dari rumah Leo. Dari jarak satu
meter, aku mendengar Leo menangis. Aku mencoba mengirimkan telepati padanya,
tapi tak bisa. Ya Tuhan,, jangan biarkan Leo menangis. Aku terus melangkah
keluar. Aku tak sanggup melihat kebelakang lagi. Aku berusaha berjalan meski
kakiku sudah tak kuat menopang tubuhku yang lemas ini. Melangkah dan terus
melangkah, hanya itu yang bisa aku
lakukan. Aku tak ingin pulang ke rumah,
aku tak ingin ibuku melihat mataku yang penuh dengan air mata ini. Aku menuju
ke jalan setapak yang dulu pernah
menjadi saksi cintaku dengan Leo. Di bawah pohon besar ini aku selalu menunggu kedatangannya.
Setelah kejadian ini, siapa lagi yang akan aku tunggu di bawah pohon ini.
Canda tawanya selalu bergema ditelingaku. Siapa lagi yang akan menemani
aku di perpus? Siapa lagi yang akan
menelponku saat aku kesepian? Air mata ini tak bisa terbendung. Aku duduk di
jalan setapak ini. Jalan itu masih saja disini? Aku mengelus-elus jalan itu,
aku menjatuhkan air mataku di atas jalan itu.
“Hay jalan, apa
selama ini kamu gak kesepian? Aku salut
sama kamu, sekian lama sendiri tapi kamu gak kesepian. Kamu gak pernah megeluh
seperti aku.”aku membaringkan tubuhku diatas jalan setapak itu. Seolah aku
merasakan kesepian yang juga melanda jalan itu. Aku tak akan pernah melupakan
kenangan indah di tempat ini bersama Leo dan aku tak akan melupakan jalan
setapak dimana aku selalu menunggu kedatangan Leo. Meski raga Leo tak dapat aku miliki tapi aku yakin hatinya masih
menjadi miliku.